Jumat, 24 Agustus 2018

Penjelasan LAI - Meluruskan Fakta Yang Dipelintir Tentang Terjemahan LAI

Meluruskan Fakta Yang Dipelintir Tentang Terjemahan LAI


Kampanye yang menolak kata "Allah" dalam Alkitab dilancarkan kalangan tertentu dengan memelintir fakta sesungguhnya tentang sikap pemerintah RI tentang terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).  Pemerintah RI TIDAK mengintervensi penerjemahan Alkitab dan malah mempercayakan tugas itu kepada LAI. LAI adalah badan hukum yang diakui Negara dan ditunjuk oleh Pemerintah sebagai Lembaga yang berhak dan berwenang untuk menerjemahkan, mencetak dan menyalurkan Kitab Suci/Alkitab (SK Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor: DJ.III/KEP/HK.00.5/77/2011).

Sejak berdirinya pada tanggal 9 Februari 1954, LAI telah menjadi mitra gereja-gereja di Indonesia dan diberi mandat dalam menerjemahkan, mencetak, dan menerbitkan Alkitab.

Visi pelayanannya yang ekumenis mendapat pengakuan juga dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Karena itu LAI tidak akan menerbitkan terjemahan Alkitab sektarian seperti yang diinginkan kelompok-kelompok yang menolak kata "Allah", padahal kata itu sudah digunakan sekitar empat abad oleh umat Kristen di nusantara.

Untuk jelasnya, baca penjelasan singkat tentang padanan nama-nama ilahi dalam Alkitab (terlampir)

Salam Alkitab Untuk Semua.

Pdt. Anwar Tjen, PhD, Kepala Departemen Penerjemahan LAI





Lampiran 1.

Mengapa kata "Allah" dan "TUHAN" dipakai dalam Alkitab kita?

Pengantar

Kata "Allah" masih dipersoalkan oleh sebagian pengguna Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Persoalan ini mencuat ke permukaan, karena ada beberapa kelompok yang menolak penggunaan kata "Allah" dan ingin menghidupkan kembali penggunaan nama Yahweh atau Yahwe. Dalam teks Ibrani sebenarnya nama Yahweh atau Yahwe ditulis hanya dengan empat huruf konsonan (YOD-HE-WAW-HE, "YHWH") tanpa huruf vokal. Tetapi, ada yang bersikeras, keempat huruf ini harus diucapkan. Terjemahan LAI dianggap telah menyimpang, bahkan menyesatkan umat Kristiani di tanah air. Apakah LAI yang dipercaya gereja-gereja untuk menerjemahkan Alkitab telah melakukan kesalahan yang begitu mendasar? Di mana sebenarnya letak persoalannya? Penjelasan berikut bertujuan untuk memaparkan secara singkat pertimbangan-pertimbangan yang melandasi kebijakan LAI dalam persoalan ini.

Mengapa LAI menggunakan kata "Allah"?

Dalam Alkitab Terjemahan Baru (1974) yang digunakan secara luas di tanah air, baik oleh umat Katolik maupun Protestan, kata "Allah" merupakan padanan 'ELOHIM, 'ELOAH  dan 'EL dalam Alkitab Ibrani:

Kej 1:1 "Pada mulanya Allah ('ELOHIM) menciptakan langit dan bumi".

Ul 32:17 "Mereka mempersembahkan kurban kepada roh-roh jahat yang  bukan Allah ('ELOAH).  Mzm 22:2 "Allahku ('EL), Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?"



Dari segi bahasa, tidak dapat dipungkiri, kata 'ELOHIM, 'ELOAH  dan 'EL berkaitan dengan akar kata 'L, dewa yang disembah dalam dunia Semit kuno. EL, ILU atau ILAH adalah bentuk-bentuk serumpun yang umum digunakan untuk dewa tertinggi. Umat Israel kuno ternyata memakai istilah yang digunakan oleh bangsa-bangsa sekitarnya. Apakah hal itu berarti bahwa mereka penganut politeisme? Tentu saja, tidak!

Umat Israel kuno memaknai kata-kata itu secara baru. Yang mereka sembah adalah satu-satunya Pencipta langit dan bumi. Proses seperti inilah yang masih terus bergulir ketika firman Tuhan mencapai berbagai bangsa dan budaya di seluruh dunia. Beberapa kelompok yang menolak kata "Allah" memang berpendapat, kata itu tidak boleh hadir dalam Alkitab umat Kristiani. Ada yang memberi alasan bahwa "Allah" adalah nama Tuhan yang disembah umat Muslim. Ada pula yang mengaitkannya dengan dewa-dewi bangsa Arab. Seandainya pendirian ini benar, tentu kata 'EL, 'ELOAH dan 'ELOHIM pun harus dicoret dari Alkitab Ibrani! Lagi pula, beberapa inskripsi yang ditemukan pada abad keenam menunjukkan bahwa kata "Allah" telah digunakan umat Kristiani Ortodoks sebelum lahirnya Islam. Hingga kini, umat Kristiani di negeri seperti Mesir, Irak, Aljazair, Yordania dan Libanon tetap memakai "Allah" dalam Alkitab mereka. Jadi, kata "Allah" tidak dapat diklaim sebagai milik satu agama saja. Kebijakan LAI dalam menerjemahkan 'ELOHIM, 'ELOAH  dan 'EL sama sekali bukan hal baru. Terjemahan Alkitab yang pertama ke dalam bahasa Yunani sekitar abad ketiga seb.M. merupakan contoh tertua yang kita miliki. Terjemahan yang dikenal dengan nama "Septuaginta" dikerjakan di Aleksandria, Mesir, dan ditujukan bagi umat Yahudi berbahasa Yunani. Dalam Kejadian 1:1, misalnya, Septuaginta menggunakan istilah THEOS yang biasa dipakai untuk dewa-dewa Yunani.

Nyatanya, Perjanjian Baru pun memakai kata yang sama, seperti contoh berikut dari Injil Matius: "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel" – yang berarti: Allah (THEOS) menyertai kita (1:23). Imanuel yang berasal dari unsur leksikal immanu- („beserta kita‟) dan EL diartikan sebagai „Allah (THEOS) menyertai kita‟. Rasul Paulus juga memakai kata THEOS untuk menyebut Bapa Tuhan Yesus Kristus, seperti dalam contoh berikut: "Terpujilah Allah (THEOS), Bapa Tuhan kita Yesus Kristus" (2 Kor 1:3). Tentu, THEOS dalam kutipan-kutipan tersebut tidak dipahami sebagai sembahan politeis.

Kata "Allah" dalam sejarah penerjemahan Alkitab di nusantara

Sebelum Alkitab TB-LAI diterbitkan pada tahun 1974, telah ada beberapa Alkitab dalam bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Injil Matius terjemahan A. C. Ruyl (1629) adalah upaya pertama dalam penerjemahan Alkitab di nusantara. Menariknya, dalam terjemahan perdana ini, kata "Allah" telah digunakan, seperti contoh berikut: "maka angkou memerin‟ja nama Emanuel artin‟ja Allahu (THEOS) ſerta ſegala kita" (Mat 1:23). Terjemahan selanjutnya juga mempertahankan kata "Allah", antara lain:

Terjemahan Kitab Kejadian oleh D. Brouwerius (1662): "Lagi trang itou Alla ſouda bernamma ſeang" (Kej 1:5).Terjemahan M. Leijdecker (1733): "Pada mulanja dedjadikanlah Allah akan ſwarga dan dunja" (Kej 1:1)Terjemahan H.C. Klinkert (1879): "Bahwa-sanja Allah djoega salamatkoe" (Yes 12:2).Terjemahan W.A. Bode (1938): "Maka pada awal pertama adalah Firman, dan Firman itu bersama-sama dengan Allah".

Seperti tampak pada contoh-contoh di atas, kata "Allah" yang baru belakangan ini dipersoalkan oleh sebagian umat Kristiani telah digunakan selama ratusan tahun dalam terjemahan-terjemahan Alkitab yang beredar di nusantara.   Singkatnya, ketika meneruskan penggunaan kata "Allah", tim penerjemah LAI mempertimbangkan bobot sejarah maupun proses penerjemahan lintas-budaya yang sudah terlihat dalam Alkitab sendiri.

Apa dasar kebijakan LAI dalam soal "YHWH"?

Harus diakui, asal-usul nama YHWH tidak mudah ditelusuri. Dari segi bahasa, YHWH sering dikaitkan dengan kata HAYAH "ada, menjadi‟, seperti yang terungkap dalam Keluaran 3:14: "Firman Allah ('ELOHIM) kepada Musa: "AKU ADALAH AKU.‟ ('EHYEH 'ASHER 'EHYEH). Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU ('EHYEH) telah mengutus aku kepadamu.‟ "Maknanya yang persis tidak diketahui lagi, namun ada yang menafsirkannya sebagai kehadiran Tuhan yang senantiasa "ADA‟ menyertai sejarah umat-Nya.   Apa dasar LAI menggunakan kata "TUHAN" (seluruhnya huruf besar) sebagai padanan untuk YHWH? Untuk menjawab ini, kita perlu memperhatikan sejarah. Umat Yahudi sesudah masa pembuangan amat segan menyebut nama sakral YHWH secara langsung oleh karena rasa hormat yang mendalam. Lagi pula, pengucapan YHWH yang persis tidak diketahui lagi. Setiap kali bertemu kata YHWH dalam Alkitab Ibrani, mereka menyebut 'ADONAY yang berarti "Tuhan‟. Tradisi pengucapan ini juga terlihat jelas dalam Septuaginta yang menggunakan kata KYRIOS ("Tuhan‟) untuk YHWH, seperti contoh berikut: 'KYRIOS menggembalakan aku, dan aku tidak kekurangan apa pun" (Mzm 23:1).

Ternyata, Yesus dan para rasul mengikuti tradisi yang sama! Sebagai contoh, dalam pencobaan di gurun, Yesus menjawab godaan Iblis dengan kutipan dari Ulangan 6:16: "Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan (KYRIOS), Allahmu" (Mat 4:7). Dalam kutipan ini tidak ditemukan nama YHWH melainkan KYRIOS. Jika nama YHWH harus ditulis seperti dalam teks Ibrani, mengapa penulis Injil Matius tidak mempertahankannya? Begitu pula, dalam surat-surat rasul Paulus tidak pernah digunakan nama YHWH. Dalam Roma 10:13, misalnya, Paulus mengutip Yoel 2:32: "Barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan (KYRIOS) akan diselamatkan". Terbukti, kata yang digunakan adalah KYRIOS, bukan YHWH.  Mungkinkah Yesus dan para rasul telah mengikuti suatu tradisi yang "keliru"? Tentu saja, tidak! Para penulis Perjanjian Baru justru mengikuti tradisi umat Yahudi yang menyebut ‟ADONAY ("TUHAN‟) setiap kali bertemu nama YHWH. Karena Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani, kata KYRIOS dipakai sebagai padanan untuk 'ADONAY yang mencerminkan tradisi pengucapan YHWH.  Singkatnya, LAI mengikuti teladan Yesus dan umat Kristiani perdana menyangkut pengucapan YHWH. Dalam Alkitab TB-LAI, kata "TUHAN" ditulis dengan huruf besar semua sebagai padanan untuk 'ADONAY yang mengingatkan tradisi pengucapan itu. Penulisan ini memang  sengaja dibedakan dengan "Tuhan" (hanya huruf pertama besar), padanan untuk 'ADONAY yang tidak merepresentasi YHWH. Perhatikan contoh berikut: "Sion berkata: "TUHAN (YHWH) telah meninggalkan aku dan Tuhanku ('ADONAY) telah melupakan aku.‟ "(Yes 49:14). Pembedaan ini tentu tidak relevan untuk Perjanjian Baru yang tidak mempertahankan penulisan YHWH.  Berbagai terjemahan modern juga mengikuti tradisi yang sama, misalnya, dalam bahasa Inggris: "the LORD" (New Jewish Publication Society Version; New Revised Standard Version, New International Version, New King James Version, Today's English Version); Jerman: "der HERR" (Einheitsübersetzung; die Bibel nach der Übersetzung Martin Luthers); Belanda: "de HEER" (Nieuwe Bijbelvertaling); Perancis": "le SEIGNEUR" (Traduction Oecuménique de la Bible).

Penutup

Kebijakan LAI mengenai padanan untuk nama-nama ilahi tidak diambil secara simplistis. Berbagai aspek harus dipertimbangkan dengan matang, antara lain:

Teks sumber (Ibrani dan Aram untuk Perjanjian Lama; Yunani untuk Perjanjian Baru) dan tafsirannya.Tradisi umat Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.Sejarah pemakaian nama-nama ilahi dalam penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa dan budaya dari zaman ke zaman.Kebijakan yang diikuti tim-tim penerjemahan Alkitab di seluruh dunia, khususnya yang bergabung dalam Perserikatan Lembaga-lembaga Alkitab seDunia (United Bible Societies).Kesepakatan yang diambil bersama dengan gereja-gereja, baik Katolik maupun Protestan, yang menggunakan Alkitab terbitan LAI hingga saat ini. Menjelang penyelesaian Alkitab TB-LAI, misalnya, pada tahun 1968 diadakan konsultasi di Cipayung dengan para pimpinan dan wakil gereja-gereja dari berbagai denominasi. Dalam konsultasi ini, antara lain, disepakati agar kata "Allah" tetap digunakan seperti dalam terjemahan-terjemahan sebelumnya.

LAI tidak pernah berpretensi seolah-olah terjemahannya sudah sempurna dan tidak perlu diperbaiki lagi. Akan tetapi, mengingat proses panjang dan berhati-hati yang ditempuh dalam menerbitkan Alkitab, tuntutan beberapa kelompok yang ingin menyingkirkan atau memulihkan nama tertentu, tidak dapat dituruti begitu saja. Dalam semua proses pengambilan keputusan menyangkut terjemahan Alkitab, berbagai faktor harus dipertimbangkan dengan saksama menyangkut teks-teks sumber, tafsirannya, tradisi penerjemahan sampai dampaknya bagi persekutuan dan kesaksian umat Tuhan bersama-sama, khususnya di tanah air kita.  Akhirnya, dengan penuh kesadaran akan terbatasnya kemampuan manusia di hadapan Allah, kita patut mempersembahkan puji syukur kepada Dia yang telah menyatakan firman yang diilhamkan-Nya untuk mendidik orang dalam kebenaran dan memperlengkapi umat-Nya untuk setiap perbuatan baik (2 Tim 3:16-17). Dialah yang telah mempersiapkan orang-orang untuk menjelmakan firman kebenaran-Nya dalam aneka bahasa dan  budaya dari masa ke masa. Segala sesuatu adalah dari Dia dan oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! []

BerandaProgramBeritaBible HousePerpustakaan MuseumDonasiTentang KamiHubungi KamiUnduhan

Lembaga Alkitab Indonesia

© 2018 Lembaga Alkitab Indonesia. Dilindungi Oleh Hak Cipta


Dikirim dari ponsel cerdas Samsung Galaxy saya.

Kamis, 16 Agustus 2018

HISTORISITAS DAN RELIGIUSITAS GARUDA PANCASILA (Oleh Dr. Bambang Noorsena)

HISTORISITAS DAN RELIGIUSITAS GARUDA PANCASILA

(Tulisan terakhir dari Tiga Tulisan)

Oleh Dr. Bambang Noorsena

1. PURWAKA

Sejarah Garuda Pancasila menarik untuk kita telusuri, bukan hanya dari proses penetapannya secara yuridis sebagai lambang negara, tetapi juga akar filosofis dan makna religiusitasnya. Garuda Pancasila, pada lehernya bergantung rantai perisai menyerupai jantung dengan kepala menoleh ke kanan, dan kakinya mencengkeram pita putih yang bertuliskan sesanti "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi Satu).  Apakah sebenarnya maknanya yang lebih mendalam bagi kita?

2. HISTORISITAS GARUDA PANCASILA

Beberapa tahun setelah kemerdekaan kita, Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.  Setiap negara di dunia memiliki lambang negaranya masing-masing, maka sudah seharusnya Indonesia juga memiliki lambang negara yang menjadi kebanggaan kita. Karena itu, urgensi lambang negara dirasakan oleh bangsa Indonesia yang baru merdeka.

Dalam rangka itu pada tanggal 10 Januari 1950 dibentuklah Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis yang terdiri dari Muhammad Yamin sebagai Ketua, Ki Hajar Dewantoro, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ng. Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas untuk menyeleksi usulan rancangan lambang negara yang akan diajukan kepada pemerintah.

Melalui sayembara yang dilaksanakan oleh Menteri Priyono, terpilihlah dua rancangan lambang negara yang terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mr. Muhammad Yamin. Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya memilih rancangan Sultan Abdul Hamid II,  dan menolak rancangan Yamin. Menurut Bung Hatta,  rancangan Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang dianggap masih terpengaruh oleh simbol Jepang (Zainul Yasni, 1978:178).

Setelah rancangan Abdul Hamid II  terpilih, untuk menyempurnakan rancangan itu, maka dialog intensif terus dilakukan. Rancangan garuda yang semula diajukan Sultan Abdul Hamid II, karena berbadan dan bertangan manusia dan memegang perisai, dikritik oleh partai Masyumi, karena dianggap lebih berciri mitologis.

Untuk merespon aspirasi yang berkembang, Sultan Hamid II melakukan perbaikan. Hasil revisinya diajukan, yaitu  berbentuk rajawali yang menjadi embrio dari dari Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang. Bung Karno menyerahkan rancangan itu kepada Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Rancangan Sultan Hamid II hasil perbaikan inilah yang akhirnya dibahas dalam Sidang Kabinet dan diresmikan pada tanggal 11 Februari 1950.

Selanjutnya, meskipun lambang negara sudah diresmikan,  namun penyempurnaan demi penyempurnaan masih terus dilakukan, khususnya oleh Bung Karno. Bung Karno sangat mendukung Garuda sebagai lambang  negara, karena lambang ini telah mengakar kuat dalam budaya kita selama berabad-abad. Perjuangan gigih Sang Garuda untuk membebaskan ibunya, seperti dikisahkan dlam kitab Adiparwa Jawa kuno, telah menginspirasi Bung Karno untuk membangkitksn semangat yang kuat dari segenap rakyat Indonesia untuk membebaskan ibu pertiwi dari segala bentuk kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme.

Pada 20 Maret 1950, atas perintah Bung Karno, Dullah, seorang pelukis istana, melukiskan kembali Garuda Pancasila. Saat itu Garuda Pancasila masih gundul, lalu ditambahkan jambul pada kepalanya. Menurut Bung Karno, penambahan jambul pada kepala Sang Garuda ini dilakukan agar tidak menyerupai "bald-eagle"-nya Amerika Serikat. Penyempurnaan terakhir yang diusulkan Bung Karno adalah mengubah cakar kaki garuda yang mencengkram pita "Bhinneka Tunggal Ika", yang semula di belakang akhirnya ditaruh di depan pita, sebagaimana yang kita saksikan sekarang. Lambang negara ini disahkan pada 17 Agustus 1951 melalui penetapan Peraturan Pemerintah  Nomor 66 Tahun 1951.

3. RELIGIUSITAS GARUDA PANCASILA

Selanjutnya, kelima sila dari Pancasila  secara simbolik dicantumkan dalam perisai atau tameng yang dikalungkan pada leher Garuda. Simbol perisai sebagai senjata telah  dikenal dalam kebudayaan Indonesia selama berabad-abad sebagai lambang perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri. Sebuah garis hitam tebal di tengah-tengah perisai melambangkan garis khatulistiwa yang menandai negara tropis membentang dari barat ke timur sebagai lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sang dwiwarna "Merah-putih" bendera kebangsaan Indonesia terwakili dalam warna dasar pada ruang-ruang perisai. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan bintang segi lima bercahaya di bagian tengahnya berwarna dasar hitam, laksana Sang Terang di tengah-tengah kegelapan dunia. Selanjutnya, empat ruang lainnya menggambarkan sila kedua, ketiga, keempat dan kelima. Rantai yang laksana ikatan persaudaraan umat manusia sejagad, melambangkan sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Beringin yang dikenal sebagai simbol dan pengayoman mewakili sila "Persatuan Indonesia". Kepala banteng simbol tenaga rakyat menjasi lambang "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan".
Dan untaian kapas dan padi yang menggambarkan sandang pangan, melambangkan "Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia".

Meskipun tidak lagi menekankan segi mitologisnya, namun pilihan warna kuning emas pada Garuda Pancasila mengingatkan kita pada Garuda Gayatri Mantra, yang memuja Garuda sebagai   स्wअर्न पक्शाय "svarna pakśāya" (Burung Sayap Emas). Dengarkanlah dendang puja bagi Sang Garuda di bawah ini:

ॐ थथ्पुरुशाय विद्महे
स्wअर्न पक्शाय धीमहि
थन्नॊ गरुद प्रछॊदयाथ्
Ōṁ thathpuruśāya vidmahē
swarna pakśāya dhīmahi
thanno garuda prachodayāth.
Artinya: "Ōṁ. Sang Ada dan hidup tertinggi, kurenungkan!
Sang burung sayap emas,
kepadaku kecerdasan yang lebih
tinggi, karuniakanlah! Dan kiranya
Sang Garuda memberikanku pencerahan!".

Jadi, secara kontekstual warna emas melambangkan keagungan bangsa Indonesia. Dan bukan kebetulan pula bila Garuda Pancasila mengepakkan sayapnya dan menoleh ke kanan. Arah "kanan", "tangan kanan", "duduk di sebelah kanan" secara simbolis bermakna posisi utama dan jalan yang benar. Dalam budaya dan bahasa semitik, induknya Kristen dan Islam, kata "yamin" (Ibrani:  יָמִין  Arab: يَمِينِ, artinya "kanan"), secara simbolis juga bermakna "yang utama" atau "yang benar". Misalnya,  dalam Kitab Zabur 16:11 tertulis:  אֶת־ פָּנֶ֑יךָ נְעִמ֖וֹת בִּימִינְךָ֣ נֶֽצַח  "....et paneka ne'imot b'ymineka netsah" (Di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa).

Paralel dengan itu, dalam Al-Qur'an, surah Al-Waqi'ah/56:27-41,  istilah Arab  أَصْحَابُ الْيَمِينِ  "Ashhab al-yamin" (golongan kanan, "the companions of the right hand"), merujuk kepada kaum beriman kepada Allah yang akan masuk surga. Sebaliknya, kaum yang berseberangan disebut  أَصْحَٰبُ ٱلشِّمَالِ "Ashhab al-syimal" (golongan kiri, "the companions of the left hand"), yaitu kaum yang tidak beriman kepada Allah dan akan masuk neraka  (Yusuf Ali, 2012:1487-1488).

Dalam budaya Nusantara, seperti kita kenal dalam pewayangan, secara moral pentas kehidupan manusia juga  dibedakan dalam 2 golongan, yatu "bala tengen" (golongan kanan, "orang-orang baik") dan "bala kiwa" (golongan kiri, "orang-orang jahat"). Jadi, dengan wajahnya yang menoleh ke kanan, Garuda Pancasila diharapkan memandu perjalanan bangsa Indonesia ke jalan yang benar dalam keridhaan Tuhan Yang Maha Esa.

Terakhir, yang tidak kalah penting, sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Menurut Bung Hatta, Bung Karno yang menciptakan Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang negara (Zainun Yasni, 1978:108). Lebih tepat, sebenarnya Bung Karno yang pertama kali mengusulkan pencantuman sesanti tersebut, dan bukan menciptakannya. Faktanya, sesanti ꦨ‌ꦶ‌ꦺꦤ꧀ꦤꦏꦠꦸꦔ꧀ꦒꦭꦶꦏ "Bhinneka Tunggal Ika"  telah tercantum dalam Lontar Porusaddhasanta atau lebih terkenal dengan Sutasoma yang berasal dari puncak kejayaan Majapahit ini, untuk pertama kalinya di dunia modern  diteliti oleh H. Kern pada tahun 1888 (Verspeide Geschriften IV, Leiden, 1916). Prof. Muhammad Yamin, lalu menelitinya lebih lanjut dan menperkenalkannya kepada publik. Sedangkan Bung Karno yang mengusulkan pencantuman sesanti ini dalam lambang negara Garuda Pancasila.

4. WASANA KATA
Burung Garuda dengan sayap yang mengembang siap terbang ke angkasa adalah dinamika dan semangat menjunjung tinggi keluhuran nusa, bangsa dan negara. Kemanapun sang Garuda akan terbang tinggi,
bulu-bulu pada kedua sayapnya yang membentang, kaki dan ujung kakinya laksana sebuah prasasti yang mengabadikan hari lahirnya bangsa Indonesia, mengingatkan bahwa perjalanan bangsa Indonesia harus selalu mengacu kepada cita-cita suci Proklamasi 17 Agustus 1945.©

(Note: dimuat atas seijin penulis, 17/08/2018)


REFERENSI
1.  Zainul Yasni (ed.), Bung Hatta Menjawab (Jakarta: Gunung Agung, 1978).

2.  J.H.C. Kern dan W.H. Raseers, Siwa-Buddha (Amsterdam-Jakarta: Djambatan, 1982).

3. Margaret Stutley, Hindu Deities (Virginia: Minshiram Publishers, 2006).

4. 'Abdullah Yusuf 'Ali, The Qur'an.Text, Translation and Commentary (New York: Tahrike Tansile Qur'an, Inc.., 2012).

5.  Bulus Al-Faghali dan Anthun Aukar (ed.), Al-'Ahd al-Qadim Al-'Ibri Tarjamah baina al-Suthur (Beirut: Al-Jami'ah al-Anthuniyah, 2007).

6.  Nyoman S. Pendit, Bhagawadgita ( Jakarta: B.P. Dharmasraya Nusantara, 1986).



Dikirim dari ponsel cerdas Samsung Galaxy saya.

Jumat, 10 Agustus 2018

Sejarah nama Indonesia

Sejarah nama Indonesia

Ringkasan
Meski kepulauan yang dikenal sebagai "Dwipantara" sudah dikenal dalam sastra kuno India seperti Mpu Valmiki, namun kata Indonesia diusulkan pertama kali oleh sarjana Skotlandia bernama James Richardson Logan.

Lihat kutipan berikut:*
"Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia."

Tentu tidak perlu dihubung-hubungkan dengan Logan yang wolverine itu lho...:-)
Artikel ini diunggah di sini untuk memberikan gambaran yang lebih otentik tentang asal-usul nama Indonesia, dan bukannya dengan pendekatana utak-atik mathuk yang umum beredar di medsos.


*Artikel dari: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia

Nama "Indonesia" berasal dari berbagai rangkaian sejarah yang puncaknya terjadi di pertengahan abad ke-19. Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama, sementara kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Nama "Indonesia" berasal dari dua kata Yunani yaitu, Indus (Ἰνδός) yang berarti "India" dan kata Nesos (νῆσος) yang berarti pulau/kepulauan, maka "Indo-nesia" berarti "kepulauan India".[1]

Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.

Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur"), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):

"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [2] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):

"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [2]

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia")..

Politik

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [2]

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,

"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)".

Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

Linguistik

Sebelum bahasa Indonesia ditahbiskan menjadi bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda, maka sejumlah linguis Eropa telah menggunakan istilah "bahasa Indonesia" alih-alih "bahasa Melayu" untuk menyebut bahasa yang dipertuturkan di Indonesia, terutama setelah terlihat percabangan pembakuan bahasa yang dipertuturkan di kedua wilayah tersebut pada awal abad ke-20. Pada tahun 1901, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen, sedangkan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[3] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Salah satu linguis yang memopulerkan nama bahasa Indonesia adalah linguis Swis, Renward Brandstetter (1860-1842), yang dikenal sebagai pencetus teori akar bahasa Austronesia. [4], yang sejak 1908 mulai menyebut dirinya sebagai indonesischer Sprachforscher (peneliti bahasa Indonesia). Tulisan-tulisan Brandstetter pada kurun waktu sebelumnya (1893-1908) yang disebutnya Malaio-polynesische Forschungen (studi [bahasa] Melayu Polinesia), mulai 1908 dinamai ulang menjadi Monographien zur indonesischen Sprachforschung (monograf-monograf mengenai riset bahasa Indonesia). Walaupun demikian, "bahasa Indonesia" yang dimaksud oleh Brandstetter lebih luas daripada sekadar bahasa di Hindia Belanda saja, melainkan juga mencakup bahasa-bahasa Filipina, bahasa Madagaskar, "mulai dari Formosa hingga ke Madagaskar"[4], oleh karena itu penggunaan istilah Indonesia oleh kalangan lingustik tidak memiliki konotasi geopolitis yang sama dengan masa sekarang, melainkan sebagai cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat atau Austronesia Barat[5]. Penelitian Brandstetter tentang Bahasa Indonesia telah diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1916 (empat esai[6]), dan satu di antaranya telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada 1956[7]. Esai-esai itu mempengaruhi perkembangan ilmu linguistik Austronesia[8]. Tentang ketertarikannya, ia menyebutkan pengaruh Niemann, Hurgronje, Adriani, dan Conant:
"... Dengan begitu bertahun-tahun saja telah mempeladjari berbagai teks dalam bahasa Indonesia, mula-mula dibawah pimpinan Niemans, kemudian sendiri sadja. Kalau teks-teks itu tiada memuaskan, maka saja – oleh sebab tak pernah mengundjungi Indonesia – berhubungan dengan kaum penjelidik jang telah berpuluh-puluh tahun diam disana, untuk memperoleh keterangan dengan lisan, terutama dengan Snouck Hurgronje, Adriani dan Conant."[7]

Penggunaan istilah "bahasa Indonesia" dalam pengertian modern, yaitu seperti dalam pemikiran Suryaningrat, baru muncul setelah 1918, dan dipakai dalam karya-karya, a.l.: Adriaanse (1918), Jonkman (1918), Ratu Langie (1918). Secara internasional, istilah tersebut mulai digunakan luas pada 1920-an, seperti dalam Weber (1922), dan Congres International Pour la Paix di Paris (1926)[9]

Lihat pula

Nusantara
Malesia
Rujukan

David Chandler, et al. 2005. "The Emergence of Modern Southeast Asia: A New History", disunting oleh Norman G. Owen (U. Hawai'i Press, 2005)
Linguistik:

Dempwolff, Otto (1923): Vergleichende Lautlehre des austronesischen Wortschatzes. Erster Band: Induktiver Aufbau einer indonesischen Ursprache. (Beihefter zur Zeitschrift fur Eingeborenen-Sprachen 15). Berlin: Dietrich Reimer /Andrews & Steiner and hamburg: Friederichsen, De Gruyter
Jones, Russel (1973): Earl, Logan and "Indonesia", Archivep 6, 93-118
Schmidt, Wilhelm (1899): Die sprachlichen Verhaltnisse Oceaniens (Melanesiens, Polynesiens, Mikronesiens und Indonesiens) in ihrer Bedeutung fur die Ethnologie.Mittheilungen der Anthropologischen Gesellschaft in Wien 29, 245-258
Pranala luar

(Indonesia) Menapaki Nama Indonesia
(Indonesia) Asal Usul Nama Indonesia
(Indonesia) Asal usul Kata Indonesia
(Indonesia) Pusatbahasa: Nama Indonesia
(Inggris) Nama Indonesia, Jakarta, dan Jawa dalam berbagai bahasa
Referensi

^ Tomascik, T.; Mah, J.A.; Nontji, A.; Moosa, M.K. (1996). The Ecology of the Indonesian Seas – Part One. Hong Kong: Periplus Editions. ISBN 962-593-078-7.
^ a b c . David Chandler, et al. 2005. "The Emergence of Modern Southeast Asia: A New History", disunting oleh Norman G. Owen (U. Hawai'i Press, 2005)
^ Interlang: Best of the Best (Crème de la Crème) dari indodic.com
^ a b Waruno Mahdi: Renward Brandstetter's Comparative Analysis of the "Indonesian Mind"
^ Wilhelm Schmidt,
^ Wurzel und Wort in den indonesischen Sprachen (1910, Root and Word in the Indonesian Languages); Gemeninindonesisch und Urindonesisch (1911, Common Indonesian and Original Indonesian), diterjemahkan dengan judul Bahasa Indonesia Umum dan Bahasa Indonesia Purba, Das Verbum (1911, The Indonesian Verb), dan Di Lauterscheinungen in den indonesischen Sprachen (1915, Phonetic Phenomena in the Indonesian Languages) [1]


Sumber: id.wikipedia, dikutip tgl 11 agustus 2018, pk. 5:36


Victor Christianto
*Founder and Technical Director, www.ketindo.com
E-learning and consulting services in renewable energy
**Founder of Second Coming Institute, www.sci4God.com
Http://www.facebook.com/vchristianto
Twitter: @Christianto2013, Line: @ThirdElijah, IG: @ThirdElijah
***books: http://nulisbuku.com/books/view_book/9035/sangkakala-sudah-ditiup
http://nulisbuku.com/books/view_book/9694/sastra-harjendra-ajaran-luhur-dari-tuhan-a5
http://www.unesco.chair.network.uevora.pt/media/kunena/attachments/731/ChristologyReloaded_Aug2016.pdf
http://fs.gallup.unm.edu/APS-Abstracts/APS-Abstracts-list.htm
http://independent.academia.edu/VChristianto
Http://researchgate.net/profile/Victor_Christianto/
http://www.amazon.com/Victor-Christianto/e/B00AZEDP4E
http://nulisbuku.com/books/view_book/9661/teologi-yesus-sobat-kita-10-artikel-dialog-antara-teologi-dan-sains
http://nulisbuku.com/books/view_book/9693/jalan-yang-lurus-manual-anak-anak-terang-a5
http://www.mdpi.com/journal/mathematics/special_issues/Beyond_Quantum_Physics_Computation

RUMAH SANG GARUDA DI TANAH NUSANTARA


CATATAN INDIA DARI ABAD PERTAMA: RUMAH SANG GARUDA DI TANAH NUSANTARA

(Tulisan kedua dari Tiga Tulisan)

Oleh Dr. Bambang Noorsena 


1. PURWAKA

Pada waktu pemgusulan rancangan lambang negara, Partai Masyumi menolak simbol garuda Pancasila yang berbadan manusia, karena mirip dengan mitologi. Namun kalau kita meminjam definisi Mircea Eliade, mitos sebagai "simbol-simbol yang dikemas dalam bentuk naratif", justru maknanya positif. Mitos menceritakan hal yang sakral, yaitu kehidupan ilahi yang adikodrati", yang ternyata bisa menjadi sangat dekat dengan kehidupan manusia (Daniel L. Pas, 2001:269). Dalam makna yang demikian, mitos bukanlah sekedar dongeng belaka, melainkan justru bisa menjadi kekuatan luar biasa dalam menarasikan simbol-simbol dan ide-ide besar sebuah bangsa, khususnya pada saat-saat revolusi kemerdekaan Indonesia.

Istilah  गरुड "garuda" telah diadaptasi dari bahasa Sanskerta, kendaraan Wishnu yang aslinya sejenis burung elang rajawali.  Sejak ratusan tahun  simbol ini muncul dalam relief berbagai candi kuno di Indonesia. Sosok Garuda sebagai yang terbesar diantara burung-burung, disebutkan dalam sabda Sri Kresna dalam Baghawad  Gita 10:30 yang berbunyi:

वैनतेयश्च पक्षिणाम्
Vainateyaś ca pakṣiṇām.
Artinya: "Diantara para burung,
Akulah Sang Putra Winata/Garuda"
(Nyoman S. Pendit, 1986:219).

Jika ada spesies burung yang disebut-sebut menjadi inspirasi dari lambang negara Indonesia, maka elang jawa (Nisaetus Bartelsi, Javan Hawk Eagle) merupakan sosok paling meyakinkan dari garuda. Sosoknya yang gagah dengan jambul panjang di bagian belakang kepala membuat elang jawa kerap diidentikkan dengan garuda, yang menginspirasi lambang negara kita, Garuda Pancasila.

2. "SWARGA" (SURGA) SANG GARUDA DI
TANAH NUSANTARA

Ketika mengakhiri kisahnya tentang perjuangan garuda membebaskan ibunya, kitab Adiparwa Jawa Kuno mencatat: "Mwang kacaritan sang Garuda mulih maring swarga, mahapawitra ning wang angrengo ri huwus niran anebus Ri Sang Ibu". Artinya: "Sang garuda kembali ke surga, tampak begitu keramatnya, setelah melalui perjuangannya berhasil memerdekakan ibunya" (I Ketut Remen, 1993:47).

Menarik sekali deskripsi sastra tentang "pulangnya Sang Garuda ke surga" dalam deskripsi Adiparwa. Lalu, dimana letak surga itu? Mendukung identifikasi sang Garuda sebagai elang Nusantara, dalam sejumlah literatur India, burung mitologis ini selain dikaitkan dengan India, juga dihubungkan erat dengan kepulauan Nusantara.  Hal itu disebutkan dalam literatur India dari abad pertama, yaitu Srimad-Valmiki Ramayana, Kiskindha Parva IV. 39-40, menyebut demikian:

ततो रक्तजलम् भीमम् लोहितम् नाम सागरम् |
गत्वा प्रेक्ष्यथ ताम् चैव बृहतीम् कूटशाल्मलीम् || ४-४०-३९
Tato raktajalam bhimam lohitam namasagaram |
gatva prekshyatha tam caiva braihatim Kutashalmalim ||
Artinya: "Dari sana pergilah ke laut yang berbahaya, namanya Lohita, airnya berwarna kemerahan, kamu akan menjumpai  pohon-pohon Kutashalmali di pulau itu" (Govind Bhavan, 1992:1020).

गृहम् च  नाना रत्न विभूषितम् |
तत्र कैलास संकाशम् विहितम् विश्वकर्मणा || ४-४०-४०
Graiham ca vainateyasya nana ratna vibhushitam |
tatra kailasa sankasham vihitam vishvakarmana ||
Artinya: "Berkilau permata laksana bukit Kailasa, istana Siwa yang dibangun arsitek surgawi, Vishvakarma. Itulah rumah  Sang Garuda, putra Vinata, akan kamu jumpai di sana" (Govind Bhavan, 1992:1020).

Patut dicatat pula, "Andersonia rohitaka" , yang di tanah Nusantara disebut pohon randu atau kapuk, yang biji-bijinya ditutupi dengan kapas, bersama seuntai biji-biji padi dalam lambang negara menjadi simbol sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena pohon Kutashalmali ini tumbuh di Jawa, Sumatera dan wilayah Nusantara lainnya, maka pulau-pulaunya disebut dalam catatan India sebagai "Kutashalmali Dwipa" (Pulau Kapuk), juga merujuk Tanah Nusantara.

Selanjutnya, pulau kapuk yang berada di lautan Lohita yang berwana merah, tempat tinggal putra Winata ini, tidak harus diartikan secara harfiah. Sebab agaknya, warna laut yang kemerahan secara romantis menggambarkan lautan Indonesia yang memantulkan sayap-sayap garuda yang berwarna merah (raktapaksa, "sang sayap merah"). Sedangkan disebut "Sagaramadu" (samudra madu), karena lautan itu memantulkan warna tubuh Sang Garuda yang dijuluki sebagai svarṇakāya, '"Sang Tubuh emas'", yang laksana madu.

3. CATATAN AKHIR
Garuda Sweta-Rohita (Garuda Merah-Putih) adalah bukan burung sembarang burung. Melalui sejarah mitologi yang panjang, bahkan merupakan sintesis dari budaya dan gugusan-gugusan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dari berbagai zaman yang berbeda dan sarat dengan spiritualitas semesta. Sekalipun pemaknaannya mula-mula berasal dari India, namun uniknya sastra India sendiri merujuk istana Garuda di Tanah Nusantara

Kita patut berbangga, bahwa negeri ini telah  memberi inspirasi kepada Srimad Valmiki, penulis Ramayana India, sejak abad pertama tarikh Masehi, tidak lama setelah "Verbum caro factum est" (kedatangan Kristus ke bumi sebagai manusia). Selanjutnya, karena nilai-nilai yang diformulasikannya mewakili cita-cita  bangsa dan negara kita, maka para bapa bangsa kita tanpa ragu-ragu seakan-akan telah "mengambilnya kembali" Sang Garuda sebagai lambang negara kita. Jadi, setelah menyelesaikan tugasnya membebaskan bangsa-bangsa, lalu Sang Garuda pulang ke surga (sang Garuda mulih maring swarga), melalui jalan para wanara mencari Sita, kekasih Rama, yang ternyata adalah Tanah Nusantara.©


Dikirim dari ponsel cerdas Samsung Galaxy saya.

Kamis, 09 Agustus 2018

Setelah Hilang Selama 500 Tahun, Injil Langka Kembali Ditemukan

Setelah Hilang Selama 500 Tahun, Injil Langka Kembali Ditemukan 



Injil Langka di Katedral Canterbury© Disediakan oleh Kumparan Injil Langka di Katedral Canterbury

Setelah hilang selama 500 tahun, sebuah Injil berukuran buku saku yang berasal dari abad ke-13 berhasil ditemukan kembali oleh Katedral Canterbury, Inggris.

Katedral Canterbury menemukan Injil ini dijual di London seharga 100.000 poundsterling atau sekitar Rp 1,85 miliar. Injil tersebut dibeli dengan menggunakan dana hibah dari National Heritage Memorial Fund sebesar 96.000 pounds (Rp 1,7 miliar) dan sisanya didapatkan dari uang hasil donasi.

Injil dari Abad Pertengahan tersebut diberi nama Lyghfield Bible. Injil itu merupakan milik seorang biarawan katedral tersebut di masa itu. 

Injil tersebut diduga diproduksi di Paris. Bahasa yang digunakan dalam Injil tersebut adalah bahasa Latin dan kertas yang digunakan merupakan kertas perkamen yang mirip tisu.

Halaman dalam Injil diberi hiasan dan ini merupakan satu-satunya Injil dari Abad Pertengahan yang masih lengkap yang ada di katedral tersebut.

Injil Abad Pertengahan ini hilang pada abad ke-16 ketika Henry VIII menguasai Inggris. Pada saat itu, terjadi Reformasi Inggris dan terjadi pemisahan antara Gereja Inggris dengan Gereja Katolik Roma. Pada masa itu, ratusan biara ditinggalkan, termasuk Katedral Canterbury.

Setelah Katedral Canterbury ditinggalkan, diperkirakan Injil dan 30.000 koleksi buku di katedral tersebut diduga hilang. Saat ini hanya ada 30 volume buku dari koleksi Katedral Canterbury yang masih tersisa, menurut pernyataan resmi dari Katedral Canterbury.

"Kami sangat berterima kasih kepada para penyandang dana. Merupakan hal yang sangat penting bagi kami untuk memiliki salinan teks penting Umat Kristiani di dalam koleksi kami yang sebelumnya dimiliki oleh salah satu biarawan terakhir dari biara Abad Pertengahan," kata Cressida Williams, Kepala Arsip dan Perpustakaan Katedral Canterbury.





Victor Christianto
Founder of The Second Coming Institute, www.sci4God.com
Founder of www.DigiMBA.com, Preparing Leaders for 21st Century
Founder of www.acaraindo.com, Promoting cultural and music events in Jakarta and other cities
Founder of www.ketindo.com, A renewable energy consultant
My books and papers can be found at:
 
==
We love you all nations, but time is very very limited. Be hurry to repent and receive Jesus Christ. Find a guide to help you repent and receive Jesus Christ, in this link http://www.esnips.com/web/Guidetorepent,
http://www.esnips.com/web/RepentanceGuide.
Print this guide, copy as many as you can, and distribute this to as many countries as you can, including Asian countries such as China, Burma, Thailand, Campuchea, Laos, Srilanka, and Vietnam. Pray and ask to God first before you select a language for your country. That is the message: be hurry be very very very very very hurry to repent and receive Jesus Christ, all corners of the world.
Don't you know that Jesus Christ will come again soon? That is why you should be hurry and quickly to repent and do your repentance. Tweet this message quickly and distribute this message to as many countries as you can including to all your friends quickly, quickly, quickly today. Follow Jesus only at http://www.twitter.com/Christianto2013.
Send this message quickly to all your colleagues and to all your friends. Thank you, Jesus Christ already help you. 

Christian books as published in Germany:
1. 

A.L.I.C.E. with Jesus

A LIfe-Changing Experience with Jesus. url: https://www.morebooks.de/store/gb/book/a-l-i-c-e-with-jesus/isbn/978-3-639-50080-6

2. 

Drink the New Wine

Experience God in your daily life. url: https://www.morebooks.de/store/gb/book/drink-the-new-wine/isbn/978-3-639-50082-0

3. 

Grace for You

44 Guides for Living inspired by Jesus Christ

https://www.morebooks.de/store/gb/book/grace-for-you/isbn/978-3-639-50070-7

4. 

Seeking a Theory for the End of the World

Introduction to Fractal Vibrating String. url: https://www.morebooks.de/store/gb/book/seeking-a-theory-for-the-end-of-the-world/isbn/978-3-659-58074-1


5. 

A Biblical Theory of Everything

Inspired by the Johannine Prologue. url: https://www.morebooks.de/store/gb/book/a-biblical-theory-of-everything/isbn/978-3-659-78041-7 


=======
Find ebooks written by Jesus at: http://guidetorepent.uphero.com
blog: http://guidetorepent.blogspot.com, http://findtheTruthnow.blogspot.com,
http://evangelismwithsocialmedia.blogspot.com
guide: http://GoodNews.getfreehosting.co.uk/digfile/cms/index.php (login with 'visitor')
video: http://youtube.com/guidetorepent,
facebook: http://www.facebook.com/VChristianto,
and follow Jesus only at www.twitter.com/Christianto2013

**KINDLE BOOKS:
authorpage: http://www.amazon.com/-/e/B00AZEDP4E
Articles dictated by Jesus Christ. Book Two. http://www.amazon.com/dp/B00AYR3F9C
Articles dictated by Jesus Christ. Book One. http://www.amazon.com/dp/B00AYR6TJU
by Jesus Christ: How social darwinism ruin America and the World. http://www.amazon.com/dp/B00AZDJJQI
by Jesus Christ: Evangelism for Difficult People. http://www.amazon.com/dp/B00AZDJCLA
by Jesus Christ: How you can do Evangelism with Social Media. http://www.amazon.com/dp/B00AZDXZLI
by Jesus Christ: The Nicene Creed. http://www.amazon.com/dp/B00AZDYMJ2
by Jesus Christ: Logos, Memra, and other letter for Economists. http://www.amazon.com/dp/B00AZDY7JW
by Jesus Christ: our Father in Heaven prayer. http://www.amazon.com/dp/B00AZKZUNM
Some problems of Nuclear Energy development in Asia: A literature survey. http://www.amazon.com/dp/B00B4LW5ZW

Some papers at www.vixra.org:
www.vixra.org/abs/0912.0036
www.vixra.org/abs/0912.0037
www.vixra.org/abs/1001.0005
www.vixra.org/abs/1001.0003
www.vixra.org/abs/0912.0053

Warta jemaat Minggu, 12 Januari 2020