Kamis, 16 Agustus 2018

HISTORISITAS DAN RELIGIUSITAS GARUDA PANCASILA (Oleh Dr. Bambang Noorsena)

HISTORISITAS DAN RELIGIUSITAS GARUDA PANCASILA

(Tulisan terakhir dari Tiga Tulisan)

Oleh Dr. Bambang Noorsena

1. PURWAKA

Sejarah Garuda Pancasila menarik untuk kita telusuri, bukan hanya dari proses penetapannya secara yuridis sebagai lambang negara, tetapi juga akar filosofis dan makna religiusitasnya. Garuda Pancasila, pada lehernya bergantung rantai perisai menyerupai jantung dengan kepala menoleh ke kanan, dan kakinya mencengkeram pita putih yang bertuliskan sesanti "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi Satu).  Apakah sebenarnya maknanya yang lebih mendalam bagi kita?

2. HISTORISITAS GARUDA PANCASILA

Beberapa tahun setelah kemerdekaan kita, Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.  Setiap negara di dunia memiliki lambang negaranya masing-masing, maka sudah seharusnya Indonesia juga memiliki lambang negara yang menjadi kebanggaan kita. Karena itu, urgensi lambang negara dirasakan oleh bangsa Indonesia yang baru merdeka.

Dalam rangka itu pada tanggal 10 Januari 1950 dibentuklah Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis yang terdiri dari Muhammad Yamin sebagai Ketua, Ki Hajar Dewantoro, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ng. Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas untuk menyeleksi usulan rancangan lambang negara yang akan diajukan kepada pemerintah.

Melalui sayembara yang dilaksanakan oleh Menteri Priyono, terpilihlah dua rancangan lambang negara yang terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mr. Muhammad Yamin. Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya memilih rancangan Sultan Abdul Hamid II,  dan menolak rancangan Yamin. Menurut Bung Hatta,  rancangan Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang dianggap masih terpengaruh oleh simbol Jepang (Zainul Yasni, 1978:178).

Setelah rancangan Abdul Hamid II  terpilih, untuk menyempurnakan rancangan itu, maka dialog intensif terus dilakukan. Rancangan garuda yang semula diajukan Sultan Abdul Hamid II, karena berbadan dan bertangan manusia dan memegang perisai, dikritik oleh partai Masyumi, karena dianggap lebih berciri mitologis.

Untuk merespon aspirasi yang berkembang, Sultan Hamid II melakukan perbaikan. Hasil revisinya diajukan, yaitu  berbentuk rajawali yang menjadi embrio dari dari Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang. Bung Karno menyerahkan rancangan itu kepada Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Rancangan Sultan Hamid II hasil perbaikan inilah yang akhirnya dibahas dalam Sidang Kabinet dan diresmikan pada tanggal 11 Februari 1950.

Selanjutnya, meskipun lambang negara sudah diresmikan,  namun penyempurnaan demi penyempurnaan masih terus dilakukan, khususnya oleh Bung Karno. Bung Karno sangat mendukung Garuda sebagai lambang  negara, karena lambang ini telah mengakar kuat dalam budaya kita selama berabad-abad. Perjuangan gigih Sang Garuda untuk membebaskan ibunya, seperti dikisahkan dlam kitab Adiparwa Jawa kuno, telah menginspirasi Bung Karno untuk membangkitksn semangat yang kuat dari segenap rakyat Indonesia untuk membebaskan ibu pertiwi dari segala bentuk kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme.

Pada 20 Maret 1950, atas perintah Bung Karno, Dullah, seorang pelukis istana, melukiskan kembali Garuda Pancasila. Saat itu Garuda Pancasila masih gundul, lalu ditambahkan jambul pada kepalanya. Menurut Bung Karno, penambahan jambul pada kepala Sang Garuda ini dilakukan agar tidak menyerupai "bald-eagle"-nya Amerika Serikat. Penyempurnaan terakhir yang diusulkan Bung Karno adalah mengubah cakar kaki garuda yang mencengkram pita "Bhinneka Tunggal Ika", yang semula di belakang akhirnya ditaruh di depan pita, sebagaimana yang kita saksikan sekarang. Lambang negara ini disahkan pada 17 Agustus 1951 melalui penetapan Peraturan Pemerintah  Nomor 66 Tahun 1951.

3. RELIGIUSITAS GARUDA PANCASILA

Selanjutnya, kelima sila dari Pancasila  secara simbolik dicantumkan dalam perisai atau tameng yang dikalungkan pada leher Garuda. Simbol perisai sebagai senjata telah  dikenal dalam kebudayaan Indonesia selama berabad-abad sebagai lambang perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri. Sebuah garis hitam tebal di tengah-tengah perisai melambangkan garis khatulistiwa yang menandai negara tropis membentang dari barat ke timur sebagai lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sang dwiwarna "Merah-putih" bendera kebangsaan Indonesia terwakili dalam warna dasar pada ruang-ruang perisai. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan bintang segi lima bercahaya di bagian tengahnya berwarna dasar hitam, laksana Sang Terang di tengah-tengah kegelapan dunia. Selanjutnya, empat ruang lainnya menggambarkan sila kedua, ketiga, keempat dan kelima. Rantai yang laksana ikatan persaudaraan umat manusia sejagad, melambangkan sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Beringin yang dikenal sebagai simbol dan pengayoman mewakili sila "Persatuan Indonesia". Kepala banteng simbol tenaga rakyat menjasi lambang "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan".
Dan untaian kapas dan padi yang menggambarkan sandang pangan, melambangkan "Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia".

Meskipun tidak lagi menekankan segi mitologisnya, namun pilihan warna kuning emas pada Garuda Pancasila mengingatkan kita pada Garuda Gayatri Mantra, yang memuja Garuda sebagai   स्wअर्न पक्शाय "svarna pakśāya" (Burung Sayap Emas). Dengarkanlah dendang puja bagi Sang Garuda di bawah ini:

ॐ थथ्पुरुशाय विद्महे
स्wअर्न पक्शाय धीमहि
थन्नॊ गरुद प्रछॊदयाथ्
Ōṁ thathpuruśāya vidmahē
swarna pakśāya dhīmahi
thanno garuda prachodayāth.
Artinya: "Ōṁ. Sang Ada dan hidup tertinggi, kurenungkan!
Sang burung sayap emas,
kepadaku kecerdasan yang lebih
tinggi, karuniakanlah! Dan kiranya
Sang Garuda memberikanku pencerahan!".

Jadi, secara kontekstual warna emas melambangkan keagungan bangsa Indonesia. Dan bukan kebetulan pula bila Garuda Pancasila mengepakkan sayapnya dan menoleh ke kanan. Arah "kanan", "tangan kanan", "duduk di sebelah kanan" secara simbolis bermakna posisi utama dan jalan yang benar. Dalam budaya dan bahasa semitik, induknya Kristen dan Islam, kata "yamin" (Ibrani:  יָמִין  Arab: يَمِينِ, artinya "kanan"), secara simbolis juga bermakna "yang utama" atau "yang benar". Misalnya,  dalam Kitab Zabur 16:11 tertulis:  אֶת־ פָּנֶ֑יךָ נְעִמ֖וֹת בִּימִינְךָ֣ נֶֽצַח  "....et paneka ne'imot b'ymineka netsah" (Di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa).

Paralel dengan itu, dalam Al-Qur'an, surah Al-Waqi'ah/56:27-41,  istilah Arab  أَصْحَابُ الْيَمِينِ  "Ashhab al-yamin" (golongan kanan, "the companions of the right hand"), merujuk kepada kaum beriman kepada Allah yang akan masuk surga. Sebaliknya, kaum yang berseberangan disebut  أَصْحَٰبُ ٱلشِّمَالِ "Ashhab al-syimal" (golongan kiri, "the companions of the left hand"), yaitu kaum yang tidak beriman kepada Allah dan akan masuk neraka  (Yusuf Ali, 2012:1487-1488).

Dalam budaya Nusantara, seperti kita kenal dalam pewayangan, secara moral pentas kehidupan manusia juga  dibedakan dalam 2 golongan, yatu "bala tengen" (golongan kanan, "orang-orang baik") dan "bala kiwa" (golongan kiri, "orang-orang jahat"). Jadi, dengan wajahnya yang menoleh ke kanan, Garuda Pancasila diharapkan memandu perjalanan bangsa Indonesia ke jalan yang benar dalam keridhaan Tuhan Yang Maha Esa.

Terakhir, yang tidak kalah penting, sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Menurut Bung Hatta, Bung Karno yang menciptakan Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang negara (Zainun Yasni, 1978:108). Lebih tepat, sebenarnya Bung Karno yang pertama kali mengusulkan pencantuman sesanti tersebut, dan bukan menciptakannya. Faktanya, sesanti ꦨ‌ꦶ‌ꦺꦤ꧀ꦤꦏꦠꦸꦔ꧀ꦒꦭꦶꦏ "Bhinneka Tunggal Ika"  telah tercantum dalam Lontar Porusaddhasanta atau lebih terkenal dengan Sutasoma yang berasal dari puncak kejayaan Majapahit ini, untuk pertama kalinya di dunia modern  diteliti oleh H. Kern pada tahun 1888 (Verspeide Geschriften IV, Leiden, 1916). Prof. Muhammad Yamin, lalu menelitinya lebih lanjut dan menperkenalkannya kepada publik. Sedangkan Bung Karno yang mengusulkan pencantuman sesanti ini dalam lambang negara Garuda Pancasila.

4. WASANA KATA
Burung Garuda dengan sayap yang mengembang siap terbang ke angkasa adalah dinamika dan semangat menjunjung tinggi keluhuran nusa, bangsa dan negara. Kemanapun sang Garuda akan terbang tinggi,
bulu-bulu pada kedua sayapnya yang membentang, kaki dan ujung kakinya laksana sebuah prasasti yang mengabadikan hari lahirnya bangsa Indonesia, mengingatkan bahwa perjalanan bangsa Indonesia harus selalu mengacu kepada cita-cita suci Proklamasi 17 Agustus 1945.©

(Note: dimuat atas seijin penulis, 17/08/2018)


REFERENSI
1.  Zainul Yasni (ed.), Bung Hatta Menjawab (Jakarta: Gunung Agung, 1978).

2.  J.H.C. Kern dan W.H. Raseers, Siwa-Buddha (Amsterdam-Jakarta: Djambatan, 1982).

3. Margaret Stutley, Hindu Deities (Virginia: Minshiram Publishers, 2006).

4. 'Abdullah Yusuf 'Ali, The Qur'an.Text, Translation and Commentary (New York: Tahrike Tansile Qur'an, Inc.., 2012).

5.  Bulus Al-Faghali dan Anthun Aukar (ed.), Al-'Ahd al-Qadim Al-'Ibri Tarjamah baina al-Suthur (Beirut: Al-Jami'ah al-Anthuniyah, 2007).

6.  Nyoman S. Pendit, Bhagawadgita ( Jakarta: B.P. Dharmasraya Nusantara, 1986).



Dikirim dari ponsel cerdas Samsung Galaxy saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warta jemaat Minggu, 12 Januari 2020